*==[[ Terimakasih Atas Kunjungannya ]]==*

1. Worldview
2. Ad-Dien
3. Wajah Barat
4. Tuhan Filsafat
5. Membangun Peradaban
6. Fe-Minus
7. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam
8. Poligami and Married Siri
9. Berpolitiklah Secara Islami
10. Saat Nyawa di Tangan Manusia
11. Reasons and Prosedure Polygamy
12. Social Order Creating Fair in Islam
13. Islamic Law at Indonesian Waris
14. Pemimpin Yang Alim
15. Fakta Sejarah
16. Aslim Taslam
17. Pluralisme
18. Blasphemy
19. Ideology Pancasila
20. 5 Prinsip Menyikapi Faham Islam Liberal
21. Religius Humanis
22. Kesalahpahaman Makna Jihad
23. Madzhab Yang Beda
24. Islamisasi Ilmu
25. Liberalisme<< Batu Sandungan Pemikiran
26. Gender dalam Perspektif Islam
27. Konsep Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman
28. Konstitusi Piagam Madinah
29. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
30. Uzlah Dalam Pandangan Dr. Wahbah Zuhaili
31. Yasinan dan Tahlilan
32. Seni Keindahan Visual Menurut Dr. Yusuf Qardhawi
33. Islam Phobia
34. Hukum Memperingati Isra Mi'raj
35. Pernikahan Beda Agama
36. Zakat Konsep Harta yang Bersih
37. Budaya Ilmu dan Peradaban Buku
38. Virginisty vs Prostitusy
39. Aqidah Islam: Asas Kemenangan
40. Sepak Terjang Sekularisme
41. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup
42. Urgensi Pemberdayaan Umat Lewat Mesjid
43. Fatwa MUI Tentang Hak Cipta
44. Pendidikan Islam vs Pendidikan Barat
45. Film "?" Apa maunya ?
46. Menjaga Pemikiran di Bulan Ramadhan
47. Sunni-Syiah dalam Nauangan Khilafah
48. Mitos Tentang Perayaan Natal Bersama
49. Interfaith Dialogue dan Relativisme Beragama
1. Arti Cinta Dalam Kehidupan
2. Looser or Winner
3. What Is Love
4. Aku Ingin Menjadi Detik
5. Bila Hati Berbalut Cemas
6. Berwudhu dan Memandang dengan Syahwat
7. Bersikap
8. Aku tak Pantas Berharap Surga
9. Istighfar dan Taubat adalah Kunci Rizki
10. Indahnya Istiqomah
11. Hanya Allah Temapt Bergantung
12. Untukmu Ibu
13. Istimewanya Seorang Wanita Muslimah
14. Tanamkan Akidah Sejak Usia Dini
15. What is Love..??
16. Definition of Love
17. Taukah Anda Hai Wanita..?
18. Sifat Alam Tersirat dalam Al-Qur’an
19. Perluasan Alam Semesta di Al Qur’an
20. Pengetahuan Sidik Jari di Al Qur’an
21. Masalah Genetka di Al Qur’an
22. Mahluk-Mahluk Bercahaya
23. Lauh Mahfuzh Kitab Terpelihara
24. Langit yang mengembalikan
25. Kematian Sejati
26. Kebesaran Allah pada Planet Bumi
27. Keajaiban Tumbuhan
28. Islam Menyelesaikan Permasalahan
29. Fisika Kimia Kenyataan Ghaib
30. Dimensi Lain dalam Materi
31. Berita Masa Depan
32. Bagian I Sejarah Berdarah Komunisme
33. Bagian II Manusia Bukan Hewan
34. Sang Legenda Buya Hamka
35. Homeschooling,Alternatif Pendidikan
36. Qiyas
37. Maslahat Mursalah
38. Saddudz Dzariah
39. 'Urf
40. Singa Padang Pasir Khalid bin Walid
41. Siapa sebenarnya ahli sunnah waljama'ah..??
42. Biografi Sang Proklamator
43. Biografi Wahbah Zuhaili
44. Hikmah Diharamkannya Menikahi Saudara Perempuan
45. Mari Menangis
46. Wudhu Sarana Refleksi
47. Fatwa_Fatwa Nikah
48. Hakekat Memakai Jilbab
49. Ibn Khaldun-Bapa Sejarah Kebudayaan
50. Al-Faraby: Ahli SEjarah Sekaligus Ilmuwan
51. Ibn Battuta-Sang Pengembara
52. Ibn Rusyd- Ahli Falsafah, Kedokteran & Ilmu Fiqh
53. Ibn Sina-Bapa Perobatan Modern
54. Hikmah DI Haramkannya Babi
55. Ar Razy, Bapak Pakar Sains
56. Ibnu Taimiyah
57. Al-Haitam- Bapak Optik Modern
58. Potret Imam Syafii:Sang Mujaddid
59. Manusia VS Mayat
60. Ilmu Laduni
61. 4 Tanda Sholat Diterima
62. Mengingat Kematian
63. Ayah !!Ayo kita Sholat...
64. Hormati Ibumu
65. Ya Allah..!!
66. Pikirkan dan Syukurilah..!!
67. Kelola Hati Nuranimu Hingga Memancarkan Hikmah
68. Orang-orang yang dido'akan Malaikat
69. Yang Lalu Biarlah Berlalu
70. 1001 Hikamh Shalat Subuh
71. 10 Sandaran Meneguhkan Iman
72. Memanfaatkan Waktu Pada Bulan Ramadhan
73. Hari Ini Adalah Milik Anda
74. Ingatkan Aku
75. Kata Non Muslim Tentang Muhammad
76. Tak Sesulit Yang Kita Bayangkan
77. Pahala Dua Kali Lipat
78. Mengenal Surat Al-Fatihah
79. Maraknya Bencana: Adzab apa Ujian ?
80. Bertambahnya Ni'mat
81. Kiat-kiat Rasulullah SAW
82. Miftahul Jannah (Kunci Surga)
83. Yang Paling dari Imam Al-Ghozali
84. Kumpulan Kata Motivasi Sang Khalifah
85. Surat Dari GAZA
86. Allah Lebih Dekat Dari Urat Nadi Manusia
87. Terapi Air Putih
88. Air Kehidupan
89. Nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal
90. Mutiara dari "Sepatu Dahlan"

Poligami and Married Siri

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman)(Oleh Dr Quraish shihab)
     Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.
    Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami.
      Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki? Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik – kalau enggan berkata lebih buruk -- daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Namun demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu ? Seandainya mereka – dahulu atau kini – tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit.
      Agaknya poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang.

POLIGAMI & AGAMA-AGAMA
     Secara umum dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama. Dalam Perjanjian Lama - misalnya disebutkan - bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Baca Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.
     Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”.
      Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stess atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan – sehingga bisa saja diterima atau ditolak – sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya.

ISLAM & POLIGAMI
Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).
      Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan.
      Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Tuhan – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti.
      Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.
      Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?
      Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.
     Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudhârat yang bukan saja menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak.
      Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.
      Di sini kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, maka kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.

TUJUAN & TALI TEMALI PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Kata ’aqd berarti ikatan, sedang nikâh berarti penyatuan.
Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat:
 Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Karena itu, yang bersemai mawaddah dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).
 Kedua, Rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan. Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi, juga ada unsur lain – katakanlah kelahiran anak - yang menjadikan mawaddah mengalami erosi . Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan. Rahmat – walau tanpa cinta -- mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya, maka rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan tersebut. Ketika itu, si suami akan ”berkorban“ demi mawaddah dan kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan ”menutup mata“.
 Ketiga, Amanah. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata “aman”, yang bermakna “tenteram”. Juga, sama dengan kata “iman” yang berarti “percaya”. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya.
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu.
      Isteri adalah amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
      Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah (ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa keadilannya.
      Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwâl Asy-Syakhshiyyah menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan. “Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu“.
     Yang ingin penulis kemukakan dengan kutipan di atas, bahwa banyak jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya.

KAWIN SIRRI
      Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan, tapi bila berpusa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.
      Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan.
       Dengan diumumkannya perkawinan, maka tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam.
Demikian. Wa Allah ‘A’lam, semoga bermanfaat

4 comments:

Nandini said...

Silahkan berpoligami atau kawin siri,.. asal MAMPU.. termasuk mampu menanggung segala resiko, mampu secara finansial, emosional dan intelektual... kalo cuma secara seksual mah, ga usah yaa... ^^

Sang khalifah said...

@Nandini: di dalam al'quran dijelaskan..bahwa syaratnya poligami itu cuma satu yaitu adil..tapi makna adil dsini sangat luas...salah satunya ialah adil lahiriah dan adil batiniah, dan selama kita tidak mampu bersifat adil alangkah baiknya jangan dulu berpligami.

syukron ya pendapatnya

dimas said...

bagus artikelnya

Anonymous said...

Ass. wr wr
mw bertanya krn malu bertanya sesat di jalan ktnya. termasuk kategori manakah jika menikah klw dr pihak perempuan hny di hadiri ayah kandungnya sbg wali nikah, dan pihak lelaki sndirian tnpa adanya wali ataupun saksi krn merasa sdh baligh dan merasa bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata Allah SWT ? sedangkan secara hukum dia terikat dg perempuan lain? trims n wassalam

Post a Comment

"Bagi sobat-sobat yang ingin mengcopy article di atas tolong copy juga alamatnya"
==== >>> Terimakasih Atas Kerjasamanya--Sukses Selalu >>> ===

Thank you 4 your visit

Info Sang Khalifah

Member Follow ME

Presented by

bisnis internet

free web site trafffic and promotion
Page Rank Check
Law Blogs

Ikut Gabung Yuk..!!
There will be no exception Eternal Eternity Itself - Sang Khalifah - Copyright 2010 - Muhammad Deden Suryadiningrat - I Could If I'm Doing I Can Surely